Dan
tidak Aku ciptakan jin dan manusia
melainkan untuk berbakti/menyembah kepadaKu.(QS. Adz-Dzariat:56). Dan diantara
cara mengabdi dan beribadah adalah dengan puasa(shiyam). Allah berfirman,
Diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum
kamu agar kamu bertawa,(QS. Al-baqarah: 183). Berpuasa lebih baik jika kita mengetahui, Dan berpuasa
lebih baik bagimu jika kamu mengetahui,(QS. Al-Baqarah: 184). Berpuasa hukumnya wajib bagi orang beriman
yang memenuhi syarat-syarat tertentu. Meskipun diwajibkan bagi
setiap muslim yang beriman, tetapi Allah
masih memberikan keringanan, bentuk keringanan itu adalah ketidak harusan
berpuasa bagi yang sakit, tua renta, hamil, menyusui dan dalam perjalanan, ini
adalah bentuk rukhsah/keringanan yang diberikan Allah kepada orang yang
berpuasa. Dan barang siapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia bebuka), maka
(wajib baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari yang
lain,(QS. Al-Baqarah: 184).
Tanpa alasan di atas, maka berbuka
di bulan suci Ramadanadalah berdosa
besar, dosanya lebih berat ketimbang dosa pezina dan peminum narkoba. Al-Hafizh
Adz-Dzahabi mengatakan bahwa dikalangan kaum mukmin telah ditetapkan bahwa
barang siapa meninggalkan puasa Ramadan tanpa alasan, maka perbuatannya itu
lebih berat dosanya ketimbang pezina dan pecandu Khamr/narkoba. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mengatakan bahwa
seseorang yang menghalalkan berbuka di siang hari di bulan Ramadan maka
diragukan keislamannya, dan seseorang yang membatalkan puasanya karena
kefasikannya, maka ia dihukum ta’zir/dibuang dari kampungnya. Nabi pernah mengatakan bahwa manusia yang berbuka
sebelum datang waktu buka/membatalkan puasa tanpa alasan yang dibenarkan syarak
ia akan di sisksa di neraka. Nabi bersabda,”Ketika aku telah berada di puncak
bukit yang datar, tiba-tiba kudengar suara yang sangat keras, aku bertanya,
suara ribut apakah ini? Dia (Jibril as.) menjawab, ini adalah suara jeritan
penduduk neraka.’ Kemudian dia membawaku
melanjutkan perjalanannya, tiba-tiba aku bertemu dengan suatu kaum yang
digantung dengan kakinya di atas dengan
rahang yang menganga mengucurkan darah. Lalu aku betanya,’siapakah mereka?’ Dia
(Jibril) menjawab,’mereka adalah orang-orang yang berbuka sebelum tiba saat
berbuka.” (Shahih At-Targhib: 420).
Memperhatikan akan pentingnya ibadah
puasa dan akibatnya yang besar bagi nasib seseorang diakhirat pelu kiranya
diketahui hal-hal yang masih samar dan belum ada kejelasan hokum dikalangan
masyarakat muslim, terutama yang masih minim dalam mencari dan membaca
literature tentang ibadah puasa, maka
penulis berusaha menyajikan pada pembaca
problematika kontemporer ibadah puasa. Mudah-mudahan ada manfaat bagi
kita semua. Di antara problema kontemporer yang dihadapi oleh kaum muslim yang
berpuasa adalah hal-hal yang membatalkan puasa, sebagaimana diketahui yang
membatalkan puasa adalah karena haid, nifas, makan, minum, senggama, muntah
disengaja, hilang akal, atau makan/minum pil, obat melalui mulut, lalu yang
menjadi pertanyaan adalah bagaimana hokum suntikan pinicilin, insulin, suntikan
vitamin dan imunisasi? Apakah semua itu membatalkan puasa? Menurut pendapat
yang kuat(rajih) semua itu tidak membatakan puasa, namun untuk kehati-hatian
hendaknya dilakukan pada malam hari (Fatawa Ibnu Ibrahim: 189). Ketika seseorang berpuasa lalu mencuci
ginjalnya, lalu darah yang dimasukkan kembali dicampur dengan zat kimia,
sakarin,dan lain sebagainya maka perbuatan tersebut menurut fatwa ulama membatalkan puasa yang
bersangkutan. (Fatwa Al-Lajnah Daimah: 190).
Apakah obat ambeien yang dimasukkan
ke dalam liang anus, obat tetes mata, obat tetes hidung, mencabut gigi dan
menjahit luka apakah itu membatalkan
puasa? Menurut Syaikh Ibnu Taimiyah
hal tersebut tidak membatalkan puasa( Majmu
Fatawa: 233). Terkaang juga kita temui di tengah masyarakat ada orang
yang menyemprotkan obat spray untuk penyakit asma, apakah hal tersebut
membatalkan puasa? Para ulama mengatakan tidak membatalkan puasa, karena yang
dimasukkan berupa gas yang dimasukkan ke paru-paru, yang dimasukkan bukan
makanan, bahkan dimaafkan karena dituntut oleh keadaan /keperluan.(Fatawa
Da’wah Ibnu Baz: 979). Ibnu bin Baz menambahkan bahwa obat kumur tidak
membatalkan puasa selama tidak ditelan.
Beberapa hal yang dianggap
masyarakat banyak membatalkan puasa, namun berdasarkan fatwa ulama, hal–hal
yang selama ini dianggap membatalkan puasa ternyata tidak membatalkan puasa, masyarakat sudah
menganggap hal tersebut membatalkan puasa, terlepas apakah keyakinan tersebut
terjadi akibat ketidaktahuan atau karena
kurang banyak membaca atau bahkan
hanya sekedar tahu dari mulut ke mulut.
Yang jelas berdasarkan penelusuran literature yang berhubungan dengan puasa
semua itu tidak benar, di antaranya adalah
obat pencuci telinga, obat tetes hidung, atau obat hisab hidung selama
pelakuknya tidak menelan bagian yang menembus kerongkongannya. Pil yang
diletakkan di bawah lidah untuk mengobati sesak nafas dan lain sebagainya
selama yang bersangkutan tidak menelan bagian yang sampai pada kerongkongannya.
Sesuatu yang dimasukkan ke dalam liang vagina seperti alat kontrasepsi, spiral,
obat pencuci vagina, periskop untuk memeriksa vagina, atau jari tangan untuk
terapi medis..
Memasukkan sesuatu ke saluran kandung kemih laki-laki maupun perempuan
berupa pipa kecil, periskop, atau bahan penambal luka akibat sinar laser, obat
atau cairan medis untuk mencuci vagina. Mengebor gigi, mencabut gigi,
membesihkan gigi,bersiwak, dan sikat
gigi selama tidak menelan benda apapun yang masuk ke dalam kerongkongan,
berkumur, gurah, obat spray yang
dimasukkan ke dalam mulut selama tidak menelan bagian yang sampai ke
kerongkongan. Memasukkan periskop keperut, selama tidak dibarengi dengan
memasukkan cairan ke dalam tidak membatalkan puasa. Hal hal tersebut di atas
tidak membatalkan puasa (M. Sholeh
Al-Munajid:90-92).
Apakah
orang yang menelamatkan nyawa seseorang
yang dilindungi jiwanya dari kebinasaan, seperti menlong orang yang kebanjiran,
untuk menyelamatkan orang-orang yang tenggelam, atau peristiwa kebakaran untuk
memadamkan api boleh berbuka? Menurut para ulama dibolehkan berbuka, tetapi
baginya dikenai mengkada puasanya di hari lain. (M.Sholih Al-Munajid: 94).
Seseorang
yang mencium, memeluk, meraba istrinya di sinag bulan Ramadan membatalkan puasa?
Menurut ulama diperbolehkan dan hal tersebut tidak membatalkan puasa. Dengan
syarat orang yang bersangkutan dapat mengendalikan diri. Dalam hal ini Nabi Saw
juga pernah melakukan hal di atas kepada
istrinya, Hadis Nabi Saw dari Aisyah,”Bahwa dahulu Nabi Saw sering
mencium dan memeluk istrinya meskipun beliau sedang berpuasa, tetapi beliau
adalah orang yang paling mampu mengendalikan birahinya di antara kalian,” (HR.
Bukhari Muslim).
Bagaimana kedudukan perempuan yang
wajib puasa, bila ia disetubuhi oleh suaminya di siang hari bulan Ramadan dan ia merelakan/menjetujui perbuatan
tersebut? Dalam hal ini ulama mengatkan bahwa perempuan tersebut dikenai sangsi
sama dengan sangsi yang dikenakan kepada suaminya, yaitu kifarat puasa dua
bulan berturut-turut, memerdekakan budak an memberi makan enampuluh fakir
miskin. Lalu bagaiman jika istrinya diperkosa oleh suaminya sendiri/ dipaksa
berhubungan intim, sedangkan pada waktu itu ia sedang puasa Ramadan? Menurut fatwa ulama, seorang istri hendaknya
berusaha sekuat tenaga untuk menepis kemauan ajakan suaminya dengan sekuat
tenaga, tetapi sekiranya usaha tersebut gagal dan ia tidak berdaya untuk menlaknya maka tidak ada kifarat bagi
dirinya (istrinya), tetapi hanya suaminya yang mendapatkan kifarat.
Kemudian, bagaimana jika seorang
istri disetubuhi suaminya di saat sedang tidur di siang hari di bulan Ramadan,
apakah puasanya batal? Dalam menjawab hal ini Ibnu Aqil semoga Allah merahmati
mengangatakan bahwa istri tidak mendapat
kifarat, hanya suami yang mendapatkan kafarat, puasa istri tetap sah, namun
untuk kehati-hatian hendaknya ia mengada puasanya pada hari kejadian itu di
hari lain. Dalam kasus ini Syaikul Islam Ibnu Taimiyah mengatakan bahwa puasa
sang istri tidak batal melainkan tetap sah.
Para ulama menganjurkan kepada para istri yang mengetahui suaminya termasuk tipe lelaki
yang hiper hendaknya istri bersikap menjauh dari suaminya dan tidak berhias
berlebihan di siang hari di bulan Ramadan, hal ini dilakukan agar istri dan
suami terhindar dari hal-hal yang mungkin membatalkan puasa.
Lalu, bagaimana kedudukan perbuatan
seseorang menyetubuhi istrinya dan ternyata fajar telah terbit? Dalam kasus ini para Ulama mengatakan bahwa
suami hendaknya segera menghentikan perbuatanya,
puasanya tetap sah meskipu ia telah mencapai orgasme setelah menghentikan
perbuatannya, tetapi jika ia tetap melanjutkan persetubuhannya meskipun fajar
telah terbit, menurut ulama perbuatannya
ini membatalkan puasa, dan mereka dikenai kafarat yang berat, wajib menkada,
dan bertaubat kepada Allah.
Demikianlah hal-hal kontemporer
ibadah puasa yang dapat penulis kemukakan semoga memberi pengetahuan dan
manfaat bagi penulis dan para pembaca yang budiman, apa yang penulis kemukakan
di atas adalah pendapat para ulama yang didasarkan pada Al-Quran, hadis, serta
ijma para ulama, namun semua itu hanya sebagian kecil yang baru terungkap dan
terbahas oleh para ulama, masih banyak problematika kontemporer yang belum terbahas untuk itu penulis
menyarankan untuk kita semua agar tidak puas dengan ilmu yang ada. Karena
mendalami ilmu agama tidak selesai dengan mengetahui yang ada, namun mencari
ilmu adalah dari liang ayunan sampai
liang kubur.
Masalah kontemporer ibadah
puasa yang ada di tengah masyarakat masih
banyak yang perlu dijelaskan dan diungkapkan hokum dan kedudukannya, kenapa hal
ini perlu dilakukan? Jawabnya adalah agar umat tidak ragu dan bingung
menghadapi hal tersebut, di sisi lain, umat akan terhindar dari keraguan dan
kesalahpahaman tentang berbagai problema kontemporer ibadah puasa dan
ibadah-ibadah lainnya.
Yang
benar adalah dari Allah dan kesalahan adalah dari manusia yang dhoif. Wallahu
A’lam Bisawwab**
Tidak ada komentar:
Posting Komentar